Minggu, 31 Mei 2015

Kewenangan Penyelidik melakukan Upaya Paksa dalam KUHAP

Akhir-akhir ini sedang ramai polemik dalam dunia peradilan di Indonesia, sebab telah banyak terjadi korban salah tangkap, selain itu juga banyak penafsiran pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti putusan hakim Sarpin terkait praperadilan atas penetapan tersangka Budi Gunawan yang cukup fenomenal dan juga putusan praperadilan lainnya menandakan bahwa KUHAP sudah perlu untuk dirombak. Judicial review terhadap beberapa pasal dalam KUHAP pada Mahkamah Konstitusi oleh Maqdir Ismail dan kawan-kawan yang menghasilkan putusan MK No 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa bukti permulaan yang cukup atau bukti yang cukup yang dimaksud dalam KUHAP adalah dua alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP dan juga Penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan kini menjadi objek praperadilan. Memang di dalam KUHAP tidak ada penjelasan mengenai bukti permulaan ataupun bukti permulaan yang cukup, akan tetapi di dalam Keputusan Kapolri No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan dalam pasal 1 angka 21 menyebutkan bahwa ”Bukti permulaaan adalah
alat bukti berupa laporan polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dilakukannya penangkapan”. Sehingga ini menjadi celah bagi polisi bertindak sewenang-wenang untuk menetapkan tersangka dan juga melakukan upaya paksa. Menjadi sebuah kewajaran apabila upaya paksa dilakukan dalam proses penyidikan ataupun penuntutan, namun sebenarnya akan menjadi sesuatu yang janggal apabila kita perhatikan jika upaya paksa dilakukan dalam proses penyelidikan. Di dalam pasal 1 angka 5 KUHAP dijelaskan bahwa “penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”, jika kita pahami bahwa penyelidikan dilakukan sebelum dilakukannya penyidikan, kemudian penyidikan yang dimaksud dalam pasal 1 angka 2 dijelaskan “bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Ini berarti bahwa penemuan tersangka adalah ketika bukti sudah terkumpul sehingga apabila tidak ada bukti maka tersangka belum dapat ditentukan. Sedangkan tersangka menurut pasal 1 angka14 dijelaskan bahwa “tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Dengan adanya putusan MK No 21/PUU-XII/2014 maka agar seseorang dapat dijadikan tersangka maka harus ada sedikitnya dua alat bukti, namun jika polisi masih berpedoman dengan manajemen penyidikannya bahwa untuk menetapkan tersangka bisa saja hanya dengan laporan polisi dan satu alat bukti karena jika laporan polisi dijadikan alat bukti maka bahwasanya itu merupakan saksi de auditu yang tidak bisa anggap sebagai alat bukti. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa penyelidik melakukan penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan oleh penyidik. Ini berarti bahwa didalam penyelidikan belum ada kejelasan mengenai tersangkanya, itu artinya alat bukti permulaan yang cukup belum ditemukan karena pengumpulan bukti-bukti ada pada saat dilakukannya penyidikan sehingga tersangka dapat ditetapkan setelah dilakukannya penyidikan. Akan tetapi dalam pasal 5 ayat (1) huruf b ke-1 terdapat kewengan penangkapan oleh penyelidik, dan dipertegas dalam pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa “untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan”. Sedangkan penangkapan dijelaskan dalam pasal 1 angka 20 bahwa “penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Secara jelas bahwa penangkapan merupakan upaya paksa oleh penyidik terhadap tersangka atau terdakwa, sedangkan penyelidik dapat melakukan penangkapan untuk kepentingan penyelidikan ini sungguh tidak sejalan dengan pasal-pasal sebelumnya sebab dalam proses penyelidikan belum ditemukan tersangka, apalagi penangkapan harus dengan adanya bukti permulaan yang cukup (pasal 17). Dalam hal yang demikian penyelidik dapat secara sewenang-wenang melakukan penangkapan terhadap seseorang yang bukan tersangka ataupun belum adanya bukti permulaan yang cukup yaitu dua alat bukuti pun bisa saja upaya paksa tersebut dilakukan oleh penyelidik. Hal tersebut tentunya telah menyalahi keadilan materiil sebab banyak korban salah tangkap dan juga menjadi korban peradilan sesat adalah oleh karena tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian . Hukum pidana formil dalam hal ini adalah KUHAP yang semestinya dapat memenuhi hak-hak seseorang agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam menerapkan pidana materiil justru telah menutup hak-hak seseorang. Sumber: UU 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP) Keputusan kapolri no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, Putusan MK No 21/PUU-XII/2014