Jumat, 07 Oktober 2022

Berbeda Penangguhan Eksekusi Dengan Putusan Yang Tidak Bisa Dieksekusi (Putusan Non Eksekutabel)

Eksekusi Lahan dan Bangunan Ricuh, Pemilik Adang Mobil Towing yang Dibawa  Petugas - Bagian 1
Eksekusi Putusan adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata / inkracht van gewijsde) yang bersifat penghukuman (condemnatoir), yang dilakukan secara paksa, jika perlu dengan bantuan kekuatan umum.


Banyak yang mengira bahwa suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap namun eksekusinya ditangguhkan/ditunda adalah sama dengan putusan yang tidak bisa dieksekusi, padahal kedua hal tersebut jelas berbeda. Penangguhan sifatnya hanya sementara bahwa eksekusi putusan belum bisa dijalankan karena sebab atau alasan-alasan tertentu. sedangkan putusan yang tidak bisa dieksekusi atau non eksekutabel berarti memang putusan tersebut tidak bisa dilakukan eksekusi.

Alasan-Alasan Penangguhan Eksekusi

1)    Penangguhan eksekusi terkait dengan verzet terhadap putusan verstek:


a.   Pelaksanaan eksekusi ditangguhkan dalam hal putusan yang dimohonkan eksekusi adalah putusan verstek yang pemberitahuannya diberitahukan langsung kepada tergugat dan tergugat mengajukan verzet (Pasal 129 HIR/Pasal 153 RBg)

b.  Jika Putusan tidak langsung diberitahukan kepada tergugat sendiri, dan pada waktu aanmaning tergugat harid, maka tenggang waktunya sampai pada hari ke 8 (delapan) setelah aanmaning. (Pasal 129 ayat (2) HIR/Pasal 153 RBg).

c.    Jika termohon eksekusi tidak hadir pada waktu aanmaning, maka tenggang waktunya adalah hari ke 8 (delapan) setelah sita eksekusi dilaksanakan (Pasal 129 ayat (2) HIR/Pasal 153 RBg)

d.  Adanya perlawanan Termohon eksekusi baik setelah pendaftaran eksekusi, maupun setelah aanmaning (dalam putusan verstek).

e. Perlawanan dari termohon eksekusi kecuali perlawanan berupa verzet terhadap putusan verstek, pada azasnya tidak menunda eksekusi.

 

2)    Perlawanan Pihak yang kalah atau Termohon eksekusi (verzet) dengan alasan:

a.     Putusan Pengadilan tersebut telah dipenuhi;

b.     Syarat penyitaan tidak sesuai atau bertentangan dengan undang-undang;

c.    Penyitaan bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR/ Pasal 211 RBg, yaitu terhadap hewan dan barang bergerak untuk menjalankan usahanya sehari-hari (mata pencaharian);


3)  Adanya Perlawanan Pihak ketiga (derden verzet) sebagai pemegang HM, HGU, HGB, Hak Pakai,


4)    Perlawanan pihak ketiga sebagai pemegang Hak Tanggungan dan hak sewa.


5) Adanya Permohonan Peninjauan Kembali yang telah diajukan sebelum atau setelah permohonan eksekusi diajukan.

Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung. Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Hanya permohonan PK yang sangat mendasar yang dapat dijadikan alasan menunda/menghentikan eksekusi yaitu:

a.  Permohonan PK benar-benar sesuai dengan salah satu alasan PK Pasal 67 UUMA.

b.     Alasan yang ditemukan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna.

c.  Dapat diperkirakan majelis hakim yang akan memeriksa PK besar kemungkinan akan mengabulkannya.


6)    Obyek eksekusi tidak sama dengan keadaan yang ada di lapangan.


7)    Obyek eksekusi masih dalam proses perkara lain.


8)    Penangguhan eksekusi atas alasan perdamaian.


9)    Putusan perkara perdata bertentangan dengan putusan perkara pidana.


10) Terhadap eksekusi pemeliharaan anak, sampai adanya pendekatan untuk membujuk anak yang tidak berkenan diserahkan.


Terhadap penangguhan eksekusi karena ada perlawanan, majelis hakim yang menangani perkara perlawanan tersebut harus selalu berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri.

 

Putusan Non Eksekutabel

Putusan yang non eksekutabel antara lain:


1.     Putusan bersifat declaratoir (pernyataan) dan consitutif.

2.     Harta kekayaan termohon eksekusi tidak ada.

3.     Barang yang menjadi obyek eksekusi berada di tangan pihak ketiga.

4.     Eksekusi tidak dapat dijalankan terhadap penyewa.

5.     Obyek yang akan diekskusi tidak jelas batas-batasnya.

6.     Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang yang disebut dalam amar putusan.

7.     Amar putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan karena yang akan dieksekusi musnah.

8.     Tanah yang hendak dieksekusi berubah statusnya menjadi tanah negara.

9.     Barang yang menjadi obyek eksekusi berada di luar negeri.

10.  Adanya putusan-putusan yang bertentangan satu dengan yang lain tentang obyek yang sama, dengan catatan harus dipelajari sejauh mana pertentangan putusan tersebut.

11.  Amar putusan yang menyangkut identitas tidak sama dengan kenyataan di lapangan.     

Dengan memahami perbedaan tersebut, diharapkan sebagai praktisi hukum dalam hal ini lawyer bisa lebih berhati-hati dalam menyusun gugatan, khususnya petitum gugatan harus jelas dan realistis untuk dapat dieksekusi. Selain itu, bisa menentukan langkah-langkah selanjutnya yang harus ditempuh.

Sumber: 
Pedoman Eksekusi Pada Pengadilan Negeri, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum 2019.

Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai permasalahan eksekusi putusan perdata bisa klik menu konsultasi hukum gratis dan isi formulir konsultasi atau hubungi kami melalui WhatsApp di sini.