Sudah lama penulis tidak membuat dan memosting tulisan ke blog ini, kali ini penulis ingin menguraikan sekelumit unek-unek mengenai hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
saat masih di bangku perkuliahan khususnya fakultas hukum tepatnya di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang merupakan kampus negeri kebanggaan kita dan mungkin juga bagi para mahasiswa yang kuliah di fakultas hukum dari universitas lainnya di seluruh indonesia tentunya pernah mendapatkan mata kuliah hukum ketenagakerjaan atau hukum kerja atau hukum perburuhan pastinya tidak asing lagi dengan Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengatur secara garis besar mengenai penempatan tenaga kerja, pelatihan kerja, perjanjian kerja, jam kerja, hingga pemutusan hubungan kerja serta hak dan kewajiban para pekerja dan pengusaha.
Ada beberapa poin yang menjadi hal pokok yang paling krusial dalam isi dari
pada Undang-undang ketenagakerjaan yang salah satunya adalah mengenai perjanjian kerja. jika didalam perkuliahan sekilas terlihat ideal saja mengenai hukum ketenagakerjaan dan selayaknya diterapkan. Namun ketika kita melihat keluar ternyata masih banyak masyarakat kuhususnya pada kalangan pekerja tidak memahami mengenai perjanjian kerja padahal dia melakukan perjanjian kerja dengan perusahaan tempat dimana para pekerja melakukan pekerjaannya sehingga kebanyakan pekerja tertindas oleh para golongan pengusaha atau pihak perusahaan karna ketidaktahuannya sehingga tidak melakukan apa-apa terkait dengan haknya. Sebagai contohnya adalah ketika perusahaan yang notabene merupakan perusahaan yang jenis pekerjaannya tidak tergolong untuk mempekerjakan dengan Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak, akan tetapi perusahaan memberlakukan pekerjanya dengan Perjanjian Waktu Tertentu padahal semestinya menggunakan perjanjian Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap, hal ini menngakibatkan lemahnya posisi pekerja tersebut sehingga saat perusahaan ingin melakukan pengurangan pekerja maka hanya saja dengan tidak memperpanjang kontraknya pada saat kontraknya telah habis masa waktunya pekerja tersebut langsung kehilangan pekerjaan begitu saja. Padahal dalam Undang-undang No 13 tahun 2003 pada Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
Sehingga apabila terjadi ketidasesuaian dengan aturan hukum maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum sebab perlu diperhatikan mengenai syarat sah perjanjian kerja sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Dalam prakteknya Undang-Undang ini seringkali tidak dijalankan oleh kebanyakan perusahaan di Indonesia sehingga tentunya bagi para mahasiswa hukum, para praktisi dan pejabat pada dinas ketenagakerjaan perlu melakukan sosialisasi terhadap masyarakat pekerja dan juga pada perusahaan agar hak-hak pekerja dapat terpenuhi dan juga kesejahteraan masyarakat sedikitnya dapat tercapai.