Mungkin sudah tidak asing lagi di telinga ketika kita mendengar kata pajak. Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''
Tanpa kita sadari ternyata Pajak dan bea cukai di Indonesia menjadi penyumbang terbesar pemasukan negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2012 dengan nilai Rp1.016 triliun atau 78,64 persen dari keseluruhan pendapatan.
Dari angka Rp1.016 triliun tersebut, Rp885 triliun di antaranya berasal dari pajak dan sisanya dari bea cukai. Belanja negara yang besar dalam APBNP 2012 ini di antaranya adalah transfer ke daerah (Rp478,8 triliun), pendidikan (Rp310,8 triliun), subsidi BBM, LPG, dan BBN (Rp137,4 triliun), subsidi listrik (Rp65 triliun) dan cadangan resiko energi (Rp23 triliun).
Dari uraian data diatas itu berarti pajak menjadi sangat di perlukan karna jika tanpa adanya penarikan pajak entah dari mana Negara bisa memenuhi kebutuhan belanja Negara karna memang belum ada sektor pendapatan yang nilainya melebihi pajak.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menyerahkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun Pajak 2011 di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, pernah mengutarakan bahwa pentingnya penerimaan pajak sebagai sumber untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pembangunan harus bisa disadari oleh seluruh masyarakat pembayar pajak dan juga petugas pajak agar pembangunan dapat terwujud.
Karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam disini penulis ingin sedikit menguraikan penarikan pajak yang ditinjau dari subyektifitas perspektif agama Islam. Karna banyak pro-kontra apakah pajak itu di perbolehkan ataukah di haramkan. Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama -ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah: al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam ), al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara ), dan al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam ). Jika kita perhatikan istilah-istilah itu, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat pertama menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat.” (HR Ibnu Majah, no 1779, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah (Maimun), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas ). Bahkan banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dhalim dan semena-mena, diantaranya adalah:
-Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR Muslim, no: 3208).
-Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda : “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim ) .
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara dhalim sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazmi di dalam Maratib al Ijma’ hlm : 141 : ”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.” Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya
Pendapat kedua menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum Muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat.” (HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )
Para ulama yang membolehkan pemerintahan Islam memungut pajak dari umat Islam, meletakkan beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Negara benar-benar sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh Negara musuh.
2. Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.
3. Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.
4. Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari orang kaya saja, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu atau untuk kepenting an kampaye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau korupsi.
5. Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
6. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja,
7. Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
Dari syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut ini menjadi pertanyaan besar apakah Indonesia memenuhi persyaratan tersebut? Hal ini akan terjawab jika kita menganalisa satu persatu dari poin-poin syarat tersebut dan kemudian kita cerminkan terhadap kondisi Indonesia saat sekarang ini. Uraian diatas adalah sudut pandang subyektif menurut perspektif Islam dan Indonesia bukanlah Negara Islam meskipun mayoritas penduduk di Indonesia adalah Islam, sebab dasar terbentuknya negara Indonesia adalah Pancasila yang mana dasar tersebut bisa menyatukan berbagai agama yang ada di Indonesia. Pajak bagi agama selain agama islam mungkin di perbolehkan akan tetapi Islam telah memiliki aturan yang mengharuskan untuk membayar zakat yang hampir memiliki kesamaan dengan pajak dan juga banyak perbedaannya.
Ada beberapa Negara di Dunia yang tidak memungut pajak diantaranya adalah uni Emirate arab, Qatar, Oman, Quait, cayman Islan, Bahrain, Bermuda dan Bahama. Kesemua Negara tersebut tidak memungut pajak karena telah memiliki pendapatan yang berkecukupan tanpa harus memungut pajak. Mengenai apakah kita perlu membayar pajak atau tidak pastilah jika kita merujuk pada kebutuhan Negara untuk memenuhi tujuan dari pada Negara Indonesia yang dalam hal ini memang sudah jelas tertuang dalam alinea ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Melihat belum ada pendapatan Negara yang bisa melebihi dari pendapatan pungutan pajak maka jelaslah bahwa pajak memang sangat di butuhkan, akan tetapi jika merujuk pada perspektif islam maka harus pula diperhatikan siapa saja yang perlu dimintai pungutan pajak.
Daftar Pustaka:
1. http://www.Hidayatullah.com
2. Antara news
3. http://www.beritasatu.com
4. http://www.wikipedia.com
5. http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=224079.
6. http://www.fiqhforum.com/articles.aspx?cid=2&acid=146&aid=9122.
7. http://internasional.kontan.co.id/news/inilah-daftar-negara-tanpa-pajak-pendapatan