Kamis, 01 Desember 2016

Kepastian Hukum Hak Pekerja Outsourcing

Pengaturan tentang alih daya (outsourcing) sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dapat dilihat dalam 3 aspek, yaitu aspek normatif, aspek konseptual, dan aspek praktis.
Dilihat dari rumusannya outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, mengandung kontradiksi antar-konsep (contradicto adconceptio). Pada prinsipnya konsep yang diusung di dalam UU Ketenagakerjaan adalah jaminan perlindungan bagi Pekerja dengan tujuan agar tidak terjadi eksploitasi terhadap hak-hak pekerja (the right to be exploited). Sedangkan secara konseptual sebagaimana terdapat pada pasal
65 dan 66, pengaturan outsourcing secara tidak langsung tersirat sebagai upaya eksploitasi pekerja oleh majikan/perusahaan pemberi kerja maupun oleh perusahaan pemborong atau perusahan penyedia jasa, karena tidak ada jaminan bagi kelangsungan mendapat pekerjaan atau hak untuk mendapat kehidupan yang layak bagi pekerja.

Konsep hubungan kerja yang terdapat pada outsourcing pekerjaan (pasal 66 UU Ketenagakerjaan) hampir menyerupai konsep hubungan kerja yang terdapat di dalam pasal 1 angka 15 karena hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan antara perusahaan pemborong dengan pekerja sehingga terpenuhi unsur pekerjaan, upah dan perintah, sedang konsep hubungan kerja dalam outsourcing pekerja (pasal 66) terdapat sifat hubungan yang tidak simetris dengan ketentuan Pasal 1 angka 15. Hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja tidak jelas apa hubungan apa namanya karena hanya terdapat satu unsur yakni "pekerjaan", sedangkan dengan perusahaan penyedia jasa terdapat dua unsur yakni "perintah kerja dan upah". Ketidakjelasan konsep hubungan kerja pada pasal 66 mengakibatkan ketidakjelasan perlindungan kepada pekerja, apalagi adanya ketentuan pasal 66 ayat (2) huruf c yang mengalihkan tanggung jawab perlindungan dan syarat-syarat kerja dari perusahaan pemberi kerja/pengguna tenaga kerja kepada perusahaan jasa pekerja.

Konsep Pengaturan Yang Ideal

a. Konsep pengaturan outsourcing di dalam UU Ketenagakerjaan belum merupakan konsep yang ideal. Akan tetapi dengan keluarnya putusan MK No. 27 Tahun 2011 cukup menutup kekurangan UU Ketenagakerjaan khususnya dalam penerapan hubungan kerja yang memberikan kewajiban penerapan perjanjian waktu tetap dan memberikan pengalihan perlindungan kepada pekerja (transfer of undertaking protection of employment /TUPE) jika terjadi peralihan perusahaan outsourcing  Namun demikian tetap diperlukan revisi tehadap pasal 65 dan 66 karena putusan MK hanya menyangkut sebagian kecil dari persoalan outsourcing  Oleh karena itu, revisi terhadap pengaturan outsourcing dilakukan agar tercipta kepastian hukum sehingga dapat memberikan perlindungan kepada pekerja. Untuk itu sistem outsourcing yang aka diatur harus memerhatikan prinsip-prinsip good outsourcing governance, yakni:
  1. perlindungan hukum
  2. nondiskriminasi
  3. Pekerja harus dianggap sebagai subjek bukan objek dalam hubungan kerja
  4. benefit and welfare dari pekerja
  5. hubungan kerja yang berkesinambungan
  6. pengalihan perlindungan terhadap pekerja 
b. Perlu penekanan kepada perusahaan pemberi kerja dan perusahaan penerima pekerjaan agar mencantumkan klausul dalam perjanjian kerja sama yang mereka buat "bahwa Pekerja yang ada pada perusahaan penerima Pekerjaan akan tetap dipekerjakan jika suatu saat terjadi perubahan perusahaan penerima pekerjaan". Hal ini bermaksud agar terdapat kelangsungan kepastian bekerja meskipun terjadi peralihan perusahaan.

Sumber: tulisan ini diambil dari kesimpulan pada buku Kepastian Hukum Hak Pekerja outsourcing karangan Dr. Khairani, S.H.,M.H. Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta 2016.