Selasa, 15 November 2016

Kisah-Kisah Hukum Pembuktian

Sumber gambar: Cultus.hk
Menegakkan hukum untuk mencapai keadilan maka harus dengan adanya pembuktian, tanpa adanya pembuktian maka tidak bisa seseorang atau masyarakat meraih keadilannya, karena suatu kebenaran dalam hukum harus dibuktikan. Di Indonesia, dalam konteks
hukum pidana, yang wajib membuktikan seseorang bersalah adalah penuntut umum (jaksa penuntut umum), dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim maka seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dapat dijatuhi hukuman. Tidak serta merta seseorang dipidana tanpa adanya pembuktian, bahkan di Negara yang menganut Common law dikenal dengan "Proven guilty beyond reasonable doubt" yang berarti (dinyatakan) bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali, ini berarti bahwa pembuktian menjadi sesuatu yang sangat utama dalam menegakkan hukum.
Sejak zaman dahulu ada banyak kisah-kisah atau cerita-cerita dalam sejarah mengenai pembuktian dengan metode-metode yang cukup unik pada masanya, berikut adalah beberapa kisahnya:

1. Kisah Raja Sulaiman

Kisah Raja Sulaiman (King Salomon) ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 960 sebelum Masehi. Kisah Raja Sulaiman ini sangat terkenal di seluruh dunia dan dicerna oleh hampir seluruh suku bangsa di dunia ini. Konon kisah ini diceritakan dalam kitab orang Yahudi.
Pada suatu ketika, ke hadapan Raja Sulaiman telah datang dua orang ibu dengan membawa seorang anak kecil dan keduanya saling mengklaim bahwa anak tersebut adalah anak mereka. Kedua ibu tersebut memang baru melahirkan, tetapi yang seorang anaknya telah meninggal dunia. Tentu saja hanya satu di antara mereka yang memiliki pengakuan yang benar dan yang lainnya adalah tidak benar sementara saksi-saksi tidak ada.
Kemudian Raja Sulaiman yang adil dan bijak ini memintakan kepada pengawalnya mengambil sebilah pedang yang sangat tajam dan dengan pedang terhunus di tangan, Raja berkata, "Anak ini akan saya belah dua, masing-masing ambil setengahnya dan itulah hukum yang adil". Selanjutnya, nyonya A berkata, "saya setuju, Belahlah anak itu, biar dia mati sehingga masing-masing dari kami tidak mendapatkan apa-apa! Itu memang lebih adil bagi kami".
Akan tetapi, nyonya B berkata, "Jangan Tuanku, kasihan anak itu! Jika memang itu putusan Tuanku, lebih baik berikan anak itu kepada dia (nyonya A), yang penting anak itu hidup, biarkan saya tidak mendapatkannya, tidak apa-apa".
Setelah itu, Raja memerintahkan agar anak tersebut diberikan kepada nyonya B karena dialah yang merupakan ibu yang sebenarnya dari anak itu, sementara nyonya A diperintahkan untuk dihukum.
Dalam hal ini, Raja Sulaiman dapat menemukan kebenaran dengan sistem pembuktian menurut caranya sendiri manakala belum ada tes DNA, tes darah, atau sistem eksaminasi silang.

2. Kisah Percakapan di Bawah Pohon Apel di Cina

Kisah Raja Sulaiman memengaruhi banyak sistem hukum di dunia ini dan ditulis dalam banyak kisah di berbagai negara. Salah satunya adalah Raja Sulaiman versi Cina sebagaimana tertulis dalam buku Tan Yin Pi Shih (terjemahan: percakapan di bawah pohon apel). Buku yang dikarang oleh Kueia Wan-Yung ini dipublikasikan pada tahun 1211 dan direvisi oleh Wu-No pada tahun 1420 (John H. Wigmore, 1941: 657).
Alkisah, pada masa pemerintah Gubernur Hoan PA di Provinsi Yin-Chuan, kepadanya telah datang dua orang masing-masing istri dari dua laki-laki kakak beradik yang kaya, tetapi tinggal di satu rumah, di mana salah seorang melahirkan anak dengan selamat dan seorang lagi melahirkan anak tetapi anaknya tersebut meninggal dunia. Kedua wanita tersebut mengadu kepada Gubernur dan masing-masing mengaku bahwa anak yang hidup tersebut adalah anak mereka. Tentu saja hanya satu diantara mereka yang berbicara benar.
Kemudian Gubernur memerintahkan ajudannya untuk menempatkan anak tersebut ke tempat yang jauh, tetapi dapat dilihat oleh Gubernur. Selanjutnya kedua perempuan tersebut disuruh berlari dan mengambil anak tersebut. Gubernur memerhatikan cara mereka mengambil anak tersebut. Ibu yang satu mengambil anak dengan cara baik layaknya seorang ibu, sedangkan yang satunya mengambilnya dengan cara kasar, bahkan dapat mematahkan tangan anak tersebut. Oleh karena itu, Gubernur memutuskan bahwa anak tersebut adalah milik ibu yang mengambil anak dengan sikap yang lembut dan penuh kasih sayang terhadap anak itu.

3. Kisah Nabi Yusuf

Pada suatu ketika adalah Zulaikha (istri Raja) jatuh cinta kepada Nabi Yusuf yang terkenal sangat tampan itu. Pada saat Zulaikha ingin memaksa Yusuf untuk memadu kasih dengannya, tiba-tiba Raja datang. Serta-merta Zulaikha menuduh Yusuf ingin memerkosanya, tetapi Zulaikha tidak mau. Akhirnya kejadian ini diputus dengan sistem pembuktian yang unik, yakni dengan melihat sebelah mana dari pakaian Nabi Yusuf yang koyak. Jika koyaknya di depan, berarti Nabi Yusuf yang memaksa dan mencabuli Zulaikha, sebaliknya jika koyaknya di bagian punggung maka Zulaikha yang ingin memaksa Yusuf. Dan ternyata pakaian Nabi Yusuf Koyak di bagian belakang/punggung, berarti Zulaikha yang bersalah da kasus ini.

4. Kisah Hakim Liu Zon-Gwai dari Dinasti Ming di Cina

Dinasti Ming memerintah Cina antara tahun 1368 sampai dengan 1644. Pada suatu ketika, seorang hakim yang cerdas dan bijaksana mencoba membuktikan siapa sebenarnya pelaku suatu kejahatan pembunuhan. Seorang gadis ditemukan tewas di rumahnya yang dibunuh oleh seseorang, tetapi kelihatannya karena pembunuh ketakutan dan panik, pisau yang digunakan untuk membunuh tersebut tertinggal di tempat kejadian. Tuduhan jatuh kepa kekas gadis tersebut yang memang sering datang berkunjung ke rumah gadis yan bersangkutan. Setelah kasusnya sampai di pengadilan, kekasih korban tersebut menyatakan benar bahwa korban merupakan kekasihnya, tetapi dia tidak pernah bertengkar dengannya apalagi membunuhnya. Barang bukti pun dibawa ke pengadilan berup sebilah pisau yang ditemukan di tempat kejadian. Hakim yan bijaksana bernama Liu Zon-Gwai memerhatikan pisau itu dan kelihatannya pisau tersebut adalah posa da tukang jagal sapi. Kemudian secara kebetulan di kota tersebut dibuat sayembara menjagal sapi dan diundang semua tukang jagal di kota tersebut. Setelah menjagal, dimintakan semu pisau penjagalan ditinggalkan di dekat sapi tersebut. Selanjutnya diam-diam orang suruhan hakim menukar sebuah pisau dengan pisau yang ditemukan di tempat pembunuhan. Setelah keesokan harinya, para penjagal diminta mengambil pisaunya kembali. Seorang penjagal mengajukan komplain da tidak mau mengambil pisau karena itu bukan pisaunya dan dia bersikeras untu itu. Katanya, berdasarkan tand di gagang pisau tersebut, pisau itu diketahuinya adalah pisau yan sering digunakan oleh rekannya, yaitu seorang tukang jagal juga. Dan serta-merta rekannya, yaitu si penjagal yan memiliki pisau tersebut ditangkap dan kemudian memang terbukti dialah yang melakukan pembunuhan terhadap gadi Malan tersebut (Walton C. Lee, 200:229)
Dari keempat kisah-kisah pembuktian dalam menemukan kebenaran di atas terlihat bahwa pada zaman tersebut belumlah secanggih zaman sekarang dalam hal alat-alat atau ilmu-ilmu lain yang dipakai untuk membantu proses pembuktian, terlihat bahwa ide-ide kreatif dan cerdas dari hakim untuk mengungkap kebenaran dan memutus sebuah perkara secara adil. Di zaman yang modern saat ini tentulah peradilan harus bisa menjadi lembaga yang bisa memberikan keadilan yang lebih akurat.

Sumber: Munir Fuady. 2012. Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti