Rabu, 04 Mei 2016

SIKLUS KORUPSI DAN KEMISKINAN DALAM DEMOKRASI


Pada kesempatan kali ini penulis ingin sedikit mengupas namun tidak secara tuntas persoalan korupsi dan kemiskinan yang terjadi dalam negara demokrasi dari pandangan penulis sendiri. Tulisan ini penulis rangkum berdasarkan kajian dan pengamatan penulis dari periode ke periode pergantian rezim pemerintahan pasca reformasi dan penulis sengaja tidak menyajikan data dari sumber-sumber sebagai referensi seperti biasanya karena tulisan ini bentuk dari ungkapan yang dituangkan melalui tulisan.
 
Tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan yang selalu menjadi topik utama setiap tahunnya digembor-gemborkan di media massa tidak lain adalah korupsi dan juga potret kemiskinan yang diakibatkan oleh korupsi. Memang ada banyak aspek yang
menyebabkan terjadinya korupsi dan kemiskinan, namun pada tulisan ini penulis membatasinya dalam lingkup sisklus yang terjadi dalam negara demokrasi. Mungkin bisa kita sebut korupsi yang tersistem dan terstruktur dalam sistem demokrasi yang mengakibatkan kemiskinan struktural.

Demokrasi berasal dari kata demos dan cratos yakni kekuasaan oleh rakyat, jadi disini rakyat yang berkuasa dalam mengambil setiap kebijakan untuk rakyat itu sendiri, kelihatannya memang cukup manis dan sangat baik nan indah sekali. Hal tersebut tidak seperti realitanya, sehingga antara nama dengan rasa itu bertolak belakang. Karna bagaimana mungkin menyatukan semua keinginan dan suara rakyat yang sebanyak itu. Zaman dahulu mungkin saja bisa rakyat dikumpulkan dalam satu tempat dan kemudian menyamakan pendapat dalam mengamil kebijakan seperti yang dilakukan di Athena Yunani, karna rakyat zaman dahulu tidak sebanyak zaman sekarang, sehingga sekarang dikenal lah yang namanya demokrasi perwakilan, dimana suara-suara aspirasi keinginan rakyat diwakilkan melalui dewan perwakilan rakyat.
Bagaimana dengan sistem yang semanis ini namun justru banyak sekali kasus-kasus korupsi dan juga kemiskinan yang merajalela? Yah bagaimana tidak, mari kita telusuri sistemnya secara bottom-up dari bawah keatas. Seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar tersebut terlihat ada rakyat miskin dan rakyat kaya, disini penulis bagi menjadi 2 kelas saja meski pada umumnya dibagi menjadi  3 kelas yakni kelas atas, menengah dan bawah. Disini rakyat miskin memiliki suara yang cukup besar dan cukup mudah dipengaruhi dibandingkan suara rakyat yang kaya. Rakyat miskin butuh makan, untuk membeli makan butuh uang, makanannya tidak yang mahal-mahal jadi rakyat miskin tidak butuh uang yang banyak. Sehingga partai politik yang ingin meraup suara banyak dalam pemilihan umum tidak terlalu besar untuk melakukan money politik. Beda halnya dengan rakyat yang kaya dengan pendidikan yang tinggi maka tidak mungkin juga mau diberi uang 50 ribu untuk mencoblos. Pengusaha-pengusaha kaya atau di dalam gambar penulis sebut pemodal banyak yang bermain di partai politik untuk melancarkan kepentingan usahanya. Anggaplah pemodal “berinvestasi” di partai politik untuk modal partai meraup suara banyak agar menduduki kekuasaan baik di legislatif maupun pada eksekutif.

Kebijakan eksekutif sudah bisa kita prediksi akan mudah dipengaruhi oleh para pemodal untuk melancarkan kepentinganya itu karena berkat dana dari pemodal yang mana dana itu untuk membeli suara-suara rakyat miskin sehingga bisa menjadi pemegang kekuasaan. Seperti prinsip ekonomi yaitu dengan modal yang sedikit untuk keuntungan yang banyak.
Kembali lagi bahwa demokrasi itu mahal, sehingga banyak penguasa-penguasa pun harus balik modal atas uang yang telah banyak dikeluarkan untuk memenangkan dalam proses pemilu jadi tidaklah heran banyak proyek-proyek baik di tingkat pusat hingga daerah menjadi “proyek dalam proyek”.

Produk perundang-undangan pun menjadi banyak disisipi titipan-titipan pemodal untuk melancarkan usahanya sehingga banyak produk perundang-undangan yang inkonstitusional. Tidak lain tidak bukan adalah karena yang membentuk perundang-undangan harus balas budi dan balik modal. Di situlah letak korupsinya balas budi dan balik modal hingga suap menyuap pun juga terjadi.

Lalu bagaimana dengan lembaga yudikatif?
Petinggi-petinggi yudikatif diusulkan dari Presiden dan juga dari DPR jadi sudah bisa terbaca akibatnya bagaimana. tidak jarang hakim-hakim bisa juga “masuk angin” menghasilkan putusan yang cukup baik untuk para pemodal. Karena sudah terstruktur dan sistematis.

Kemudian rakyat yang miskin tadi tetap dipelihara menjadi miskin dan tetap terus miskin bahkan melahirkan miskin-miskin yang baru dan berkembang biak menjadi banyak dan terus dijaga kemiskinannya itu oleh para penguasa supaya bisa dimanfaatkan untuk digalang suaranya dibeli dengan murah dan dibodohkan saja biar tetap mudah dibeli dengan murah suaranya, kalau di buat sejahtera dan kaya nanti mampu untuk membiayai pendidikan, kalau sudah mampu membiayai pendidikan nanti menjadi cerdas dan kalau sudah cerdas nanti bisa melawan, itu akan sangat membahayakan kekuasaan dan sistem yang sudah didesain sedemikian rupa. Begitulah kemiskinan stuktural terjadi bukan karena rakyat yang ingin hidup miskin namun sistem lah yang memiskinan rakyat.

Indonesia ini sangat kaya, baik kaya akan sumber daya alam maupun kaya akan sumber daya manusia. Semuanya melimpah ruah namun karna sudah tersistem seperti yang penulis jabarkan diatas maka kekayaan alam itu tidak bisa banyak dinikmati untuk kemaslahatan rakyat secara luas, hanya pemodal saja yang meraup keuntungan dan merusak alam, penguasa mempersilahkan dan memfasilitasinya, rakyat miskin jadi alatnya yang diberi upah sedikit karena kebutuhannya juga sedikit.
Siklus ini terus berlangsung dan tidak pernah berhenti selama tidak ada yang mau merubahnya, amatlah sulit untuk merubahnya karena kita bagian dari pendukung sistem itu.