Senin, 21 November 2016

Daluwarsa Dalam Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Sumber gambar: losangelescriminallawyer.pro
Dalam suatu forum diskusi terjadi perdebatan mengenai berlakunya daluarsa terhadap tindak pidana pemalsuan surat. Apabila sebuah tindak pidana telah daluwarsa atau telah melampau batas sebagaimana waktu yang telah ditentukan maka hilanglah hak untuk menuntut pelaku tindak pidana tersebut, namun demikian apakah dengan begitu menjadi adil bagi si korban?.

Tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:
Pasal 263
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar· dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

( 2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Kententuan mengenai daluwarsa diatur dalam pasal 78 KUHP sebagai berikut:
Pasal 78
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:

  1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
  2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
  3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
  4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

( 2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

Dari uraian ketentuan kedua pasal tersebut di atas tindak pidana pemalsuan surat yang mana diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun maka sebagaimana pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP, kewenangan menuntut atas tindak pidana pemalsuan tersebut menjadi hapus karena daluwarsa sesudah 12 (dua belas) tahun.
Kemudian timbul pertanyaan sejak kapankan tenggang daluwarsa itu mulai berlaku?.
Di dalam pasal 79 KUHP diatur sebagai berikut:
Pasal 79
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan;
  2. Mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;
  3. Mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindahkan ke kantor tersebut.

Dalam hal tindak pidana pemalsuan surat, tenggang daluwarsa sebagaimana pasal 79 angka 1 mulai berlaku sesudah surat yang dipalsukan itu digunakan, jadi bukan sejak surat itu dipalsukan atau sejak pelaku membuat surat palsu.
Lalu bagaimana apabila yang dipalsukan adalah suatu surat atau akta yang menimbulkan hak (kuntungan bagi pelaku dan merugikan korban) namun baru diketahui oleh korban setelah lewat tenggang waktu daluarsa.
Contoh: A, B dan C adalah ahli waris dari D yang telah meninggalkan harta warisan sebidang tanah, namun demikian karena B dan C tinggal didaerah lain, tanpa sepengetahuan B dan C kemudian A membuat surat yang pada intinya seolah-olah surat itu dibuat oleh A dan B yang menyatakan bahwa A dan B tidak menginginkan harta waris, kemudian melalui penetapan waris hanya A yang sebagai ahli waris sehingga A menguasai dan melakukan balik nama atas sebidang tanah waris tersebut menjadi atas nama A sebagai pemilik tanah tersebut. 13 tahun kemudian B dan C baru mengetahui hal tersebut dan merasa dirugikan karena B dan C sama sekali tidak pernah membuat maupun menyuruh membuat surat yang menyatakan untuk melepaskan hak waris tersebut.

Apabila dalam contoh kasus di atas dikaitkan dengan tindak pidana pemalsuan surat dan dihubungkan dengan pasal mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana pasal 79 angka 1 “Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan “ sedangkan A membuat surat palsu dan menggunakannya adalah 13 tahun yang lalu atau B dan C selaku korban baru mengetahui dan merasa dirugikan setelah 13 tahun sejak dibuat dan digunakannya surat yang dipalsukan oleh A, yang mana daluwarsa tindak pidana pemalsuan surat adalah 12 tahun, maka jika dimaknai bahwa daluwarsanya tindak pidana yang dilakukan oleh A adalah hari sesudah digunakannya surat yang dipalsukan tersebut yakni 13 tahun yang lalu maka kewenangan untuk menuntut A atas pemalsuan surat tersebut adalah telah hapus.

Jika dicermati penerapan daluwarsa yang demikian akan sangat mencederai rasa keadilan, sebagaimana tujuan hukum pidana adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan., maka tujuan tersebut tidak tercapai, karena korban telah dirugikan sedangkan pelaku merasa diuntungkan.
Prinsip daluwarsa pada mulanya adalah karena pelaku kejahatan dalam jangka waktu daluwarsa tersebut merasakan penderitaan (nestapa) karena harus terus bersembunyi dari penegakan hukum dan dalam persembunyiannya itu pelaku kejahatan merasa tidak tenang dan menderita selama masa tenggang daluwarsa tersebut sehingga masa daluwarsa dianggap sebagai bentuk lain dari nestapa sebagaimana pidana jika dijatuhkan apabila diproses secara hukum. Akan tetapi dalam kasus pemalsuan surat tidaklah demikian adanya, sebab pelaku justru diuntungkan, tidak menderita, justru korban yang dirugian dan mengalami derita setelah mengetahui adanya tindak pidana pemalsuan surat tersebut.

Dalam sebuah putusan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yakni putusan Nomor: 261/Pid/2014/PT. Bdg. Majelis Hakim membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Bekasi yang semula Majelis Hakim PN Bekasi memutus dalam putusannya tanggal 12 Juni 2014 Nomor 98/Pid.B/2014/ PN.Bks., Majelis hakim PN Bekasi berpendapat bahwa penuntutan terhadap perbuatan Terdakwa adalah gugur karena daluwarsa dan karenanya penuntutan dari Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Terdakwa tidak dapat diterima. Majelis Hakim PT Bandung memberikan pertimbangan salah satunya adalah sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi berpendapat untuk menghitung kapan dimulai dan dihitung tenggang waktu daluwarsa tindak pidana pemalsuan surat, bukankah pada hari sesudah perbuatan pemalsuan surat itu dilakukan, akan tetapi pada hari berikutnya surat yang diduga palsu itu dipergunakan dan adanya kepalsuan itu diketahui oleh korban atau orang atau pihak lain yang dirugikan akibat digunakannya surat yang diduga palsu tersebut”. Sehingga terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Jadi untuk menafsirkan keberlakuan Daluwarsa dalam pidana pemalsuan surat seperti kasus di atas agar tercapai keadilan maka Daluwarsa pemalsuan surat itu tenggang waktunya dihitung sejak diketahui oleh korban atau pihak yang di rugikan atas dipergunakannya surat yang dipalsukan atau pemalsuan surat tersebut.

Demikian semoga bermanfaat dan dapat menjadi titik terang dalam sebuah perdebatan.

Sumber:
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  • Putusan Pengadilan Tinggi Bandung  Nomor: 261/Pid/2014/PT. Bdg